Paus serukan perdamaian dunia di Assisi
Dua puluh lima tahun setelah pendahulunya Beato Paus Yohanes Paulus II mengadakan pertemuan agama pertama di Assisi, Paus Benediktus XVI memimpin Hari Doa Sedunia untuk Perdamaian bersama dengan para pemimpin agama lain di kota asal St. Fransiskus memperbaharui janji bersama untuk perdamaian dan antikekerasan.
Selama upacara kemarin pagi di Santa Maria degli Angeli, Paus mengakui merasa “malu besar” atas kekerasan yang dilakukan sepanjang sejarah “dalam nama iman Kristen.”
Ia menambahkan bahwa “itu adalah benar-benar jelas merupakan penyalahgunaan iman Kristen, yang jelas bertentangan dengan sifat kodrati. ”
Sekitar 300 perwakilan dari agama-agama dunia tiba di Assisi melalui stasiun kereta api yang jarang digunakan Vatikan. Mereka bertemu pertama di Basilika Santa Maria degli Angeli, yang dibangun di sekitar gereja kecil La Porziuncola, yang direnovasi oleh St. Fransiskus sendiri pada awal pelayanannya di abad ke-13.
Di sana mereka secara berkelompok merefleksikan tentang kontribusi agama-agama ‘untuk pembangunan perdamaian dunia. Kemudian, setelah beberapa saat disisihkan untuk doa pribadi dan refleksi di biara terdekat. Para pemimpin agama itu bertemu lagi di alun-alun di depan basilika St. Fransiskus sebelum memberi penghormatan kepada makam Poverello itu.
Paus Benediktus mengulangi kata-kata pendahulunya berbicara di akhir pertemuan Assisi pertama tahun 1986: “Kekerasan, perang, terorisme tidak boleh terjadi lagi.”
Ia juga mengatakan bahwa dunia telah berubah sejak pertemuan pertama antaragama di Assisi. Meskipun tidak ada Perang Dingin yang membelah dunia.
Paus sangat mengutuk tindakan terorisme dan kekerasan. Ketika terorisme “bermotifkan agama” dan “karakter khusus agama dari serangan itu dijadikan sebagai pembenaran atas kekejaman sembrono,’” katanya.
Namun, Paus juga mengatakan bahwa melemahnya rasa keagamaan di banyak bagian dunia telah menyebabkan “penurunan derajat manusia dan kemanusiaan,” serta penyembahan mamon, harta dan kekuasaan adalah bukti bertentangan dengan agama, dimana tidak ada manusia lagi yang penting, tapi hanya keuntungan pribadi. ”
Empat perwakilan Atheis diundang untuk bergabung dengan para pemimpin agama di Assisi untuk pertama kalinya dalam sejarah pertemuan-pertemuan tersebut, dan mereka berpartisipasi dalam janji untuk perdamaian.
Sebelas pemimpin agama berbicara sebelum paus, termasuk Patriak Bartolomeus dari Konstantinopel dan Uskup Agung Anglikan Rowan Williams dari Canterbury, Rabi David Rosen, mewakili para rabbi Israel, dan Wande Abimbola, presiden dari sebuah lembaga Nigeria yang mempromosikan studi agama tradisional masyarakat Yoruba.
Hasyim Muzadi, Sekretaris Jenderal Konferensi Cendekiawan Islam Internasional (ICIS) berbasis di Indonesia tidak bisa hadir sesuai jadwal tetapi dikirim sebuah naskah pidato mengatakan bahwa “kenyataan menunjukkan bahwa banyak masalah manusia di planet ini sebenarnya berasal dari orang-orang beragama.”
Meskipun demikian, ia menulis, agama harus membangun “harapan bersama bagi terciptanya keharmonisan, keadilan, kemakmuran dan taraf hidup manusia ditingkatkan.”
Pendeta Olav Fykse Tveit, seorang pendeta Lutheran dan sekretaris jenderal Dewan Gereja Dunia dalam sambutannya mendesak para pemimpin agama untuk fokus pada pemuda. Ia mengatakan orang muda bisa menjadi sumber untuk perubahan.
Pada sore hari, sekelompok orang muda memberi kepada pemimpin agama dengan lampu-lampu sebagai simbol dari komitmen mereka untuk menjadi pembawa perdamaian di seluruh dunia.
Acara hari itu ditutup dengan doa akhir dibacakan oleh Kardinal Kurt Koch dan terinspirasi oleh sebuah doa oleh St. Fransiskus: “Marilah kita menjadi alat damai yang datang dari atas.”